saco-indonesia.com, Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan Mahkamah Konstitusi untuk meminta Dewan Etik MK memeriksa beberapa keganjilan dalam proses pengujian materiil Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
 
Tindakan MK yang telah menerima pengujian UU MK yang dilakukan oleh beberapa kelompok yang dekat dengan MK ini dinilai telah menabrak prinsip umum dalam hukum, nemo judex in casua sua. Artinya, MK tidak akan bisa menjadi hakim atas dirinya sendiri.
 
"Ini juga merupakan preseden buruk dalam sejarah konstitusi Indonesia. MK secara telanjang telah mengajarkan kepada publik bagaimana kekuasaan yang dipunyainya digunakan untuk dapat mengakali hukum itu sendiri," kata Bahrain, Koordinator Advokasi YLBHI dalam siaran pers yang diterima Okezone, Selasa (10/2/2014).
 
Pasca tertangkapnya mantan Ketua MK, Akil Mochtar, Presiden SBY telah mengeluarkan Perpu No 1 Tahun 2013 tentang Perubahan Kedua atas UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pada intinya, Perpu tersebut telah mengatur dua hal yang selama ini membuat MK rapuh dalam menegakan amanat konstitusi yaitu memperketat seleksi hakim konstitusi dengan membentuk lembaga ad hoc bernama Panel Ahli dan syarat-syarat calon hakim konstitusi, dan membentuk MKHK sebagai instrument pengawasan etik  hakim konstitusi.
 
Keberadaan Perpu tersebut disambut dengan positif, karena substansi yang diaturnya telah menutup lubang lemahnya sistem di MK selama ini yaitu tidak adanya pengawasan dan buruknya mekanisme seleksi hakim konstitusi.
 
Meskipun publik dan lembaga-lembaga negara menginginkan perubahan yang lebih baik untuk MK ke depan, namun bagi sebagian hakim MK, secara eksplisit mengatakan akan membatalkannya jika ada pihak-pihak yang mengajukannya ke MK.
 
Dalam praktiknya, posisi sebagian MK yang akan membatalkan substansi UU MK yang baru tersebut terkonfirmasi dengan jelas dalam beberapa keanehan - keanehan dalam proses pengujian UU MK.
 
Keanehan pertama terlihat dari sidang pemeriksaan pendahuluan sampai dengan kesimpulan hanya memakan waktu 17 hari. Kedua, sidang pemeriksaan hanya dilakukan satu kali dan langsung ditutup.
 
Ketiga, MK telah membatasi hanya mengajukan satu orang Ahli. Keempat, MK hanya memberikan kesempatan kepada pihak terkait (Presiden, DPR dan KY) untuk dapat menyampaikan keberatannya secara tertulis hanya dalam waktu 3 hari.
 
Untuk itu, Koalisi menyatakan mengutuk dengan keras tindakan MK yang telah memilih menjadi hakim terhadap substansi UU (UU MK) yang telah mengatur lembaganya sendiri.

"Kami juga telah meminta kepada MK untuk menolak uji materil terhadap pengawasan dan pengetatan seleksi hakim MK yang diajukan oleh beberapa advokat dan akademisi tersebut," kata Bahrain.


Editor : Dian Sukmawati

KOALISI NILAI ADA KEANEHAN UJI MATERIIL UU MK
Photo
 
Many bodies prepared for cremation last week in Kathmandu were of young men from Gongabu, a common stopover for Nepali migrant workers headed overseas. Credit Daniel Berehulak for The New York Times

KATHMANDU, Nepal — When the dense pillar of smoke from cremations by the Bagmati River was thinning late last week, the bodies were all coming from Gongabu, a common stopover for Nepali migrant workers headed overseas, and they were all of young men.

Hindu custom dictates that funeral pyres should be lighted by the oldest son of the deceased, but these men were too young to have sons, so they were burned by their brothers or fathers. Sukla Lal, a maize farmer, made a 14-hour journey by bus to retrieve the body of his 19-year-old son, who had been on his way to the Persian Gulf to work as a laborer.

“He wanted to live in the countryside, but he was compelled to leave by poverty,” Mr. Lal said, gazing ahead steadily as his son’s remains smoldered. “He told me, ‘You can live on your land, and I will come up with money, and we will have a happy family.’ ”

Weeks will pass before the authorities can give a complete accounting of who died in the April 25 earthquake, but it is already clear that Nepal cannot afford the losses. The countryside was largely stripped of its healthy young men even before the quake, as they migrated in great waves — 1,500 a day by some estimates — to work as laborers in India, Malaysia or one of the gulf nations, leaving many small communities populated only by elderly parents, women and children. Economists say that at some times of the year, one-quarter of Nepal’s population is working outside the country.

Nepal’s Young Men, Lost to Migration, Then a Quake

Artikel lainnya »